Minggu, 21 Agustus 2016

Contoh Cerpen bertemakan Religius.



A DARK STRUNGLE
Karya: Astrina Masda

Rina, ya itu nama yang sering kudengar ketika teman memanggilku. Lebih jelasnya namaku Astrina Masda kelas XI IPA. SMA Negeri 2 Sengkang adalah sekolah dimana aku bisa menemukan 3 orang sahabat yang selalu mengingatkanku akan kebaikan dan kebesaran Allah, yaa meskipun kami tak satu kelas tapi kami selalu bersama, sama sama makan, shalat, bahkan memasuki organisasi yang sama. Orang terkadang memanggil kami dengan sebutan “stress” karena setiap kali mereka bergabung dengan kami pasti arah bicara mereka tak searah dengan apa yang kami bicarakan. Widya Yuliastuti Masda, itu nama saudariku, kami memang satu sekolah bahkan dia berada di kelas sebelahku tapi jangan heran kami tak pernah komunikasi. Ibu dan ayahku juga tak henti-hentinya mengingatkanku untuk selalu shalat lima waktu dan diakhiri dengan membaca ayat suci alqur’an. Ketika SMP mereka membiasakan ku dan kakakku untuk shalat ke masjid, hingga hal itu menjadi kebiasaan kami setiap harinya.
***
            Tak terasa aku sudah kelas XI itu artinya setahun lagi aku akan beranjak kemasa kuliah. Masa dimana aku akan menuntut ilmu yang lebih tinggi lagi.  Pagi yang cerah membuat tubuhku bersemangat untuk ke sekolah. Di sekolah aku kumpul dengan sahabatku dan kami membahas tentang shalat sunah setelah dan sebelum shalat fardu ternyata aku baru tahu kalau shalat magrib tidak diawali dengan shalat sunnah melainkan dilakukan setelah shalat magrib, tapi kata mereka terkadang ada masjid yang melakukan hal itu. Bisa dibilang aku orang yang gemar ke masjid pada waktu petang (untuk shalat magrib) ya kadang kadang sampai isya.
             Seperti biasanya saat pulang sekolah kubaringkan tubuhku yang penat di kasur yang empuk, hingga tak terasa mataku terpejam. Tidur diwaktu asar memang tidak baik, tapi mau bagaimana lagi kalau pulang sekolah jam 2 belum lagi pejalanan pulang, huft sangat melelahkan. Jam menunjukkan pukul 06.15, suara lantunan ayat suci al-qur’an yang terdengar dari masjid yang tak jauh dari rumah membangunkanku, “ini saat nya untuk ke masjid” kataku. Widya bahkan sudah memasang mukenanya, sedangkan aku baru mau ambil air wudhu. “kamu nanti mau tunggu isya atau langsung pulang aja?” tanya Widya. “hmm, udah lama nggak shalat isya di masjid, kita tunggu saja” jawabku. Kamipun segera ke masjid, begitu kami sampai adzan dikumandangkan oleh seorang pria bisa dibilang seumuran denganku, dilanjutkan dengan iqamah. Shalat magrib berjamaahpun dilaksanakan. Setelah shalat seperti biasa kami duduk dan membaca al-qur’an hingga waktu isya tiba. Senangnya bisa shalat di masjid, pahala yang didapatkan pasti berbeda dengan orang yang shalat di rumah. Waktu terus berjalan dan aku semakin nyaman tinggal di masjid untuk menghafal ayat al-qur’an, yaaa bisa dibilang hafalanku masih rendah, 2 surah lagi mencapai 1 juz, alhamdulillah.
            Sebulan berlalu, aku dan kakakku masih melakukan hal yang sama yaitu ke masjid, tapi ada satu hal yang membuat kami tak nyaman, entah kapan dan kenapa hal itu bisa terjadi tapi rasanya menggelikan. Ketika kami sampai di masjid seorang bapak bapak  tinggi, bungku, baju kotak kotak atau tidak baju putih, sajadah kuning, dan kopiah hitam di atas kepalanya selalu memandangi kami, terkadang dia tersenyum. Awalnya aku kira dia hanya melakukan itu karena kami pendatang baru di desa itu, tapi lama kelamaan tatapan dan tingkahnya membuat kami merinding. Kakakku bahkan pernah berfikir bahwa laki laki itu hanya ingin tahu lebih banyak tentang kita, tapi semakin lama fikiran kami tak lagi seperti itu, entah apa yang ada dipikiranku sekarang, aku hanya bisa berkata “tidak baik berburuk sangka terhadap orang lain, Allah membenci hal itu.”
            Suatu ketika, aku dan kakakku ke masjid dan kami menunggu waktu isya. Dan setelah shalat kamipun segera pulang. Langkah demi langkah kakiku menuruni tangga masjid, dengan hembusan angin yang membuat mukenaku terhempas ke samping, aku jalan lebih dulu sedangkan kakakku berada di belakang. Ketika kami melewati lampu di pinggir jalan, sebuah banyangan yang tingginya bisa dikira kira 190 cm, bungkuk dan sebuah kopiah di atas kepalanya terlihat jelas berjalan begitu cepat hingga jantungku berdebar sangat kencang, bahkan tanganku kedinginan. Semakin aku melangkah bayangan itu semaikn besar dan semakin jelas derap langkahnya, dan ternyata dia adalah bapak bapak itu, lalu dia berdiri di sampingku dan bertanya “ade sekolah dimana?” tanyanya dengan suara yang agak kurang kedengaran karena dia terlalu tinggi sedang diriku hanya 154 cm. Dengan denyut jantung yang masih berdetak kencang, tangan yang sedari tadi basah kuyup, ku jawab “Di SMA Negeri 2 Sengkang”. Setelah ku jawab dia langsung pergi dengan langkah yang cepat, perasaanku lega. Sementara kakakku yang berada di belakangku dengan enak menertawakanku. Sungguh memalukan. Aku bahkan berfikir ada apa dengan bapak itu. Hanya ingin menanyakan hal semacam itu dia harus membuntuti kami, ouch menyebalkan. Hal itu terus terjadi setiap kami pulang dari shalat, baik itu shalat magrib maupun shalat isya, buruknya rumah kami searah. Pertanyaan yang dilontarkan selalu satu, apakah ade seorang hafiz?, apakah dia (sepupuq) saudari ade?, apakah dia kakak ade?, ade kelas berapa?. Terkadang pertanyaan nya berulang. Aku yakin dia hanya sengaja melakukan itu. lagi lagi mucul satu argumen di otakku “tak baik berburuk sangka kepada orang lain”.
            Karena hal itu, aku mulai malas ke masjid sedangkan kakakku masih tahan, ya walaupun sepulang dari masjid dia pasti menceritakan hal itu. Mendengarnya saja merinding apalagi berada di kejadian itu. Rasa kangen akan masjid membuatku pergi hari ini, dan kali ini otakku berjalan dan kami punya taktik untuk menghindari bapak itu. yaitu setelah shalat isya (kan ada shalat ba’da isya) kakakku akan memantau bapak itu, jika bapak itu shalat maka kami akan langsung pulang dengan langkah cepat, tapi kalau bapak itu masih duduk dan menunngu kami melakukan hal, kami akan shalat ba’da isya dengan saaaaaaangat lambat, hingga lampu masjid dimatikan. Pada saat itu kami mencoba menggukanakan cara pertama. Setelah shalat isya kami memantau dengan pelan dan ternyata bapak itu shalat lebih dulu, kami langsung buru buru pulang, melangkahkan kaki dengan langkah yang cepat namun lembut tapi buruknya di tengah jalan aku melihat bayangan itu lagi, membuat lututku gemetaran, hingga tiba di rumah, sendi lututku gemetar ketika menaiki tangga. Kami rasa cara pertama tidak berhasil. Hingga keesokan harinya kami mencoba cara kedua.
            Setelah berdoa (setelah shalat isya) kami bersalaman dengan para ibu ibu di samping kami dengan gerakan yang lambat, lalu kakakku melihat bapak itu, ternyata bapak itu sudah rakaat terakhir, barulah kami shalat. Lampu masjid satu persatu mulai dipadamkan, satu demi satu orang baranjak pulang. Dan selepas shalat aku tak melihat bapak itu lagi, kurasa cara kedua ini berhasil. Hatiku terasa saaaangat lega, kamipun pulang tanpa beban. Melangkahkan kaki dengan penuh percaya diri, tapilagi lagi kami harus melewati lampu dipinggir jalan, takutnya akan terjadi, namun anehnya hal itu benar benar terjadi bayangan bapak itu kembali muncul hingga dia berjalan selurus kami, aduhh jantung ini berdetak kencang, aku memperlambat langkahku agar dia bisa lebih awal dariku tapi bapak itu juga memperlambat langkahnya.  Menyebalkan sekali, hampir 2 bulan ini selalu terjadi, tapi aku dan kakakku masih belum bisa mengerti apa alasan bapak itu selalu menunggu kami pulang dari masjid, apalagi jika dilihat dari tampangnya dia sudah menikah, untuk apa coba dia melakukan hal itu.
            Hari demi hari kami lalui dengan penuh keraguan dan hati yang tak nyaman ke masjid. Semakin hari tatapan bapak itu semakin menggelikan dan menyeramkan untuk di pandang, ditambah lagi ketika di tersenyum lebar hingga menampakkan kedua giginya, menambah kegelian yang semakin mendalam. Memang tak ada niat untuk memandangnya tapi rasa takut yang menyelimutiku ini membuat kedua bola mataku harus melihat hal itu hingga membuat konsentrasiku menghilang. Biasanya jika kami tinggal di masjid bapak itu akan pulang dan kembali pada waktu isya, namun kali ini dia bahkan tinggal dan duduk saja, sambil selalu berbalik. Aku bahkan berfikir “apa dia tidak menyadari jikalau aku bahkan tahu gerak geriknya” rasa kesal membuatku harus menghentikan bacaan qur’an ku. Aku bahkan tak percaya ada orang yang melakukan hal itu meski sudah berada dalam masjid. Kakakku bahkan sudah tak tahan dengan itu, dia hanya berkata “sudalah, abaikan saja perlakuan bapak itu, lama kelamaan juga akan berhenti”. Pikirku ya memang hal itu yang bisa kami lakukan tapi mau bagaimana lagi jika pulang dari masjid di bahkan selalu ingin selurusan dengan kami atau tidak dengan salah seorang diantara kami.
            Kami bahkan sering melakukan hal diluar kelapa hanya untuk menghidari bapak itu. dulu kakakku ketika dia pergi sendiri ke masjid, di tengah jalan dia bahkan sudah gemetar katanya dia sudah tak bisa lagi bernapas, tanpa pikir panjang diapun langsung berbelok ke sebuah warung dekat rumah, terpaksa dia berpura pura untuk membeli permen demi menjauhi bapak itu. pernah juga suatu ketika di tengah jalan aku memang punya niat untuk singgah membeli kartu, ketika aku berbalik dan melihat bapak itu, di mataku dia seorang raksasa tinggi yang sedang tersenyum, tangan ku langsung menarik kakakku dan menyebrang ke suatu warung. Jika bapak itu tak mau menghentikan perilakunya, maka kami hanya dapat berbuat hal konyol seperti itu. tak peduli seberapa banyak nya orang melihat kami, yang terpenting kami hanya ingin terhindar dari semua mara bahaya yang berada di samping kami.
            Kamipun menyimpulkan dengan sendiri, mungkin saja ini teguran dari Allah agar wanita tidak ke masjid pada petang hari, karena wanita lebih baik shalat di rumah. Aku juga berfikir mungkinkah kami diberi cobaan oleh Allah, karena setiap manusia yang akan berbuat baik pasti melalui cobaan dahulu, bukannya menyombongkang diri, tapi ini saatnya untuk berfikir logika. Aku bahkan selalu berdoa agar Allah menjauhkan kami dari bapak itu. aku sangat takut disertai rasa geli dan menyebalkan baru kali ini aku menemukan bapak bapak seperti itu.
            Akhirnya aku dan kakakku berpindah tempat yang awalnya kami berada di utara sekarang kami lebih mengarah ke selatan. Namun menjauhi tempat bapak itu tetap saja tak mengubah perilakunya. Misteri ini bahkan belum terpecahkan hingga saat ini, bagaikan suatu puzzle dimana salah satu bagiannya hilang. Begitulah kejadian ini dimisalkan. Namun, aku berusaha untuk mengabaikan semua yang dilakukan bapak itu terhadapku. Karena semakin ku perhatikan, tingkahnya juga akan semakin buruk lagi.
            Hari demi hari, petang demi petang, aku dan kakakku semakin penasaran bagaimana model dari puzzle yang hilang itu hingga akirnya kuberanikan diri untuk bertanya dengan tetanggaku akan bapak itu. Setelah kulakukan ternyata Misteri yang hampir tiga bulan lamanya berlangsung, kini kutemukan bagian yang hilang itu. Tetanggaku bilang bapak itu telah kehilangan putrinya yang umurnya bisa dibilang seumuran denganku, itulah sebabnya dia suka menunggu bahkan mengikutiku dan kakakku pulang dari masjid, dia melakukannya karena kangen terhadap putrinya. Dan juga tetanggaku bilang setahun yang lalu, juga ada anak SMA yang bertanya padanya, dia mengalami hal yang sama denganku, tapi dia tak tahan hingga berhenti untuk ke masjid. Semuanya akan berhenti ketika muncul seorang gadis SMA yang pergi shalat. Mendengar penjelasan itu, aku baru paham, ternyata selama ini aku menilainya dengan hal yang tidak mungkin. Itulah kenapa berprisangka baik terhadap orang lain penting ditanam dalam hati, karena tidak semua tingkah yang timbul dari orang lain itu menyakiti seseorang, pasti ada alasan mengapa dia melakukannya. Dan alasan bapak itu membuatku merasa bersalah dan menjadi tidak enak jika berpapasan dengannya. Aku hanya bisa menampakkan senyuman tanpa mengeluarkan sepatah kata. Terlebih lagi dia adalah seorang laki laki. Dimana dalam agama, haram hukumnya berbicara dengan laki laki yang bukan mahram. Itulah mengapa setiap kali dia bertanya, aku hanya menjawab dengan kata yang tak lebih dari 5 kata, dan diakhiri dengan senyuman. Karena senyum itu adalah bagian dari ibadah.
            Diakhir shalat magrib aku berdoa “Ya Allah, ampunilah dosa hambamu ini yang telah berprasangka buruk terhadap bapak itu. Ya Rabb, lindungilah setiap langkahku menuju ke tempat tujuanku, jauhkanlah hambamu ini dari segala marabahaya. Robbanaa atina fiddunya khazanah wafil aakhiroti khazanah wakina ‘aza bannar” Aamiin.
******
            Akhirnya setelah bulan Ramadhan, semua aktivas ku berjalan dengan baik. Dia bahkan tak pernah muncul lagi, entah kemana perginya, tapi aku merasa lebih nyaman lagi.


Semoga Bermanfaat...

           
           

Minggu, 31 Juli 2016

Suara merdu Muh. Nail Ihsan Masda dalam belajar mengaji


Jangan menunggu hingga anak atau saudara (i) kita menjadi dewasa untuk belajar membaca Al-Qur'an, tapi ajarkan lah mereka sejak usia dini, karena pembentukan karakter seorang anak dimulai sejak mereka berusia dini.