A DARK STRUNGLE
Karya: Astrina Masda
Rina, ya itu nama yang
sering kudengar ketika teman memanggilku. Lebih jelasnya namaku Astrina Masda
kelas XI IPA. SMA Negeri 2 Sengkang adalah sekolah dimana aku bisa menemukan 3
orang sahabat yang selalu mengingatkanku akan kebaikan dan kebesaran Allah, yaa
meskipun kami tak satu kelas tapi kami selalu bersama, sama sama makan, shalat,
bahkan memasuki organisasi yang sama. Orang
terkadang memanggil kami dengan sebutan “stress” karena setiap kali mereka
bergabung dengan kami pasti arah bicara mereka tak searah dengan apa yang kami
bicarakan. Widya Yuliastuti Masda, itu nama saudariku, kami memang satu sekolah
bahkan dia berada di kelas sebelahku tapi jangan heran kami tak pernah
komunikasi.
Ibu dan ayahku juga tak henti-hentinya mengingatkanku untuk selalu shalat lima
waktu dan diakhiri dengan membaca ayat suci alqur’an. Ketika SMP mereka
membiasakan ku dan kakakku untuk shalat ke masjid, hingga hal itu menjadi
kebiasaan kami setiap harinya.
***
Tak
terasa aku sudah kelas XI itu artinya setahun lagi aku akan beranjak kemasa
kuliah.
Masa dimana aku akan menuntut ilmu yang lebih tinggi lagi. Pagi yang cerah membuat tubuhku bersemangat
untuk ke sekolah. Di sekolah aku kumpul dengan sahabatku dan kami membahas
tentang shalat sunah setelah dan sebelum shalat fardu ternyata aku
baru tahu kalau shalat magrib tidak diawali dengan shalat sunnah melainkan dilakukan
setelah shalat magrib, tapi kata mereka terkadang ada masjid yang melakukan hal
itu. Bisa dibilang aku orang yang gemar ke masjid pada waktu petang (untuk
shalat magrib) ya kadang kadang sampai isya.
Seperti biasanya saat pulang sekolah kubaringkan
tubuhku yang penat di kasur yang empuk, hingga tak terasa mataku terpejam.
Tidur diwaktu asar memang tidak baik, tapi mau bagaimana lagi kalau pulang sekolah jam 2 belum lagi
pejalanan pulang, huft sangat melelahkan. Jam menunjukkan pukul 06.15, suara lantunan
ayat suci al-qur’an yang terdengar dari masjid yang tak jauh dari rumah
membangunkanku, “ini saat nya untuk ke masjid” kataku. Widya bahkan sudah
memasang mukenanya, sedangkan aku baru mau ambil air wudhu. “kamu nanti mau
tunggu isya atau langsung pulang aja?” tanya Widya. “hmm, udah lama nggak
shalat isya di masjid, kita tunggu saja” jawabku. Kamipun
segera ke masjid, begitu kami sampai adzan dikumandangkan oleh seorang pria bisa
dibilang seumuran denganku, dilanjutkan dengan iqamah. Shalat magrib berjamaahpun dilaksanakan. Setelah
shalat seperti biasa kami duduk dan membaca al-qur’an hingga waktu isya tiba. Senangnya bisa shalat di masjid, pahala
yang didapatkan pasti berbeda dengan orang yang shalat di rumah. Waktu terus
berjalan dan aku semakin nyaman tinggal di masjid untuk menghafal ayat
al-qur’an, yaaa bisa dibilang hafalanku masih rendah, 2 surah lagi mencapai 1
juz, alhamdulillah.
Sebulan
berlalu, aku dan kakakku masih melakukan hal yang sama yaitu ke masjid, tapi
ada satu hal yang membuat kami tak nyaman, entah kapan dan kenapa hal itu bisa
terjadi tapi rasanya menggelikan. Ketika kami sampai di masjid seorang bapak
bapak tinggi, bungku, baju kotak kotak
atau tidak baju putih, sajadah kuning, dan kopiah hitam di atas kepalanya selalu
memandangi kami, terkadang dia tersenyum. Awalnya aku kira dia hanya melakukan
itu karena kami pendatang baru di desa itu, tapi lama kelamaan tatapan dan
tingkahnya membuat kami merinding. Kakakku bahkan pernah berfikir bahwa laki
laki itu hanya ingin tahu lebih banyak tentang kita, tapi semakin lama fikiran
kami tak lagi seperti itu, entah apa yang ada dipikiranku sekarang, aku hanya
bisa berkata “tidak baik berburuk sangka terhadap orang lain, Allah membenci
hal itu.”
Suatu ketika, aku dan kakakku ke masjid dan kami menunggu
waktu isya. Dan setelah shalat kamipun segera pulang. Langkah demi langkah
kakiku menuruni tangga masjid, dengan hembusan angin yang membuat mukenaku terhempas ke samping, aku jalan lebih dulu sedangkan kakakku
berada di belakang. Ketika kami melewati lampu di pinggir jalan, sebuah
banyangan yang tingginya bisa dikira kira 190 cm, bungkuk dan sebuah kopiah di
atas kepalanya
terlihat jelas berjalan begitu
cepat hingga jantungku berdebar sangat kencang, bahkan tanganku kedinginan. Semakin
aku melangkah bayangan itu semaikn besar dan semakin jelas derap langkahnya,
dan ternyata dia adalah bapak bapak itu, lalu dia berdiri di sampingku dan
bertanya “ade sekolah dimana?” tanyanya dengan suara yang agak kurang
kedengaran karena dia terlalu tinggi sedang diriku hanya 154 cm. Dengan denyut
jantung yang masih berdetak kencang, tangan yang sedari tadi basah kuyup, ku
jawab “Di SMA Negeri 2 Sengkang”. Setelah ku jawab dia langsung pergi dengan
langkah yang cepat, perasaanku lega. Sementara kakakku yang berada di belakangku
dengan enak menertawakanku. Sungguh memalukan. Aku bahkan berfikir ada apa
dengan bapak itu. Hanya ingin menanyakan hal semacam itu dia harus membuntuti
kami, ouch menyebalkan. Hal itu terus terjadi setiap kami pulang dari shalat,
baik itu shalat magrib maupun shalat isya, buruknya rumah kami searah.
Pertanyaan yang dilontarkan selalu satu, apakah ade seorang hafiz?, apakah dia
(sepupuq) saudari ade?, apakah dia kakak ade?, ade kelas berapa?. Terkadang
pertanyaan nya berulang. Aku yakin dia hanya sengaja melakukan itu. lagi lagi
mucul satu argumen di otakku “tak baik berburuk sangka kepada orang lain”.
Karena
hal itu, aku mulai malas ke masjid sedangkan kakakku masih tahan, ya walaupun
sepulang dari masjid dia pasti menceritakan hal itu. Mendengarnya saja
merinding apalagi berada di kejadian itu. Rasa kangen akan masjid membuatku
pergi hari ini, dan kali ini otakku berjalan dan kami punya taktik untuk
menghindari bapak itu. yaitu setelah shalat isya (kan ada shalat ba’da isya)
kakakku akan memantau bapak itu, jika bapak itu shalat maka kami akan langsung
pulang dengan langkah cepat, tapi kalau bapak itu masih duduk dan menunngu kami
melakukan hal, kami akan shalat ba’da isya dengan saaaaaaangat lambat, hingga
lampu masjid dimatikan. Pada saat itu kami mencoba menggukanakan cara pertama.
Setelah shalat isya kami memantau dengan pelan dan ternyata bapak itu shalat
lebih dulu, kami langsung buru buru pulang, melangkahkan kaki dengan langkah
yang cepat namun lembut tapi buruknya di tengah jalan aku melihat bayangan itu
lagi, membuat lututku gemetaran, hingga tiba di rumah, sendi lututku gemetar
ketika menaiki tangga. Kami rasa cara pertama tidak berhasil. Hingga keesokan
harinya kami mencoba cara kedua.
Setelah
berdoa (setelah shalat isya) kami bersalaman dengan para ibu ibu di samping
kami dengan gerakan yang lambat, lalu kakakku melihat bapak itu, ternyata bapak
itu sudah rakaat terakhir, barulah kami shalat. Lampu masjid satu persatu mulai
dipadamkan, satu demi satu orang baranjak pulang. Dan selepas shalat aku tak
melihat bapak itu lagi, kurasa cara kedua ini berhasil. Hatiku terasa saaaangat
lega, kamipun pulang tanpa beban. Melangkahkan kaki dengan penuh percaya diri,
tapilagi lagi kami harus melewati lampu dipinggir jalan, takutnya akan terjadi,
namun anehnya hal itu benar benar terjadi bayangan bapak itu kembali muncul
hingga dia berjalan selurus kami, aduhh jantung ini berdetak kencang, aku
memperlambat langkahku agar dia bisa lebih awal dariku tapi bapak itu juga
memperlambat langkahnya. Menyebalkan
sekali, hampir 2 bulan ini selalu terjadi, tapi aku dan kakakku masih belum
bisa mengerti apa alasan bapak itu selalu menunggu kami pulang dari masjid,
apalagi jika dilihat dari tampangnya dia sudah menikah, untuk apa coba dia
melakukan hal itu.
Hari
demi hari kami lalui dengan penuh keraguan dan hati yang tak nyaman ke masjid.
Semakin hari tatapan bapak itu semakin menggelikan dan menyeramkan untuk di
pandang,
ditambah lagi ketika di tersenyum lebar hingga menampakkan kedua giginya,
menambah kegelian yang semakin mendalam. Memang
tak ada niat untuk memandangnya tapi rasa takut yang menyelimutiku ini membuat
kedua bola mataku harus melihat hal itu hingga membuat konsentrasiku
menghilang. Biasanya jika kami tinggal di masjid bapak itu akan pulang dan kembali
pada waktu isya, namun kali ini dia bahkan tinggal dan duduk saja, sambil
selalu berbalik. Aku bahkan berfikir “apa dia tidak menyadari jikalau aku
bahkan tahu gerak geriknya” rasa kesal membuatku harus menghentikan bacaan
qur’an ku. Aku bahkan tak percaya ada orang yang melakukan hal itu meski sudah
berada dalam masjid. Kakakku bahkan sudah tak tahan dengan itu, dia hanya
berkata “sudalah, abaikan saja perlakuan bapak itu, lama kelamaan juga akan
berhenti”. Pikirku ya memang hal itu yang bisa kami lakukan tapi mau bagaimana
lagi jika pulang dari masjid di bahkan selalu ingin selurusan dengan kami atau
tidak dengan salah seorang diantara kami.
Kami
bahkan sering melakukan hal diluar kelapa hanya untuk menghidari bapak itu.
dulu kakakku ketika dia pergi sendiri ke masjid, di tengah jalan dia bahkan
sudah gemetar katanya dia sudah tak bisa lagi bernapas, tanpa pikir panjang
diapun langsung berbelok ke sebuah warung dekat rumah, terpaksa dia berpura
pura untuk membeli permen demi menjauhi bapak itu. pernah juga suatu ketika di
tengah jalan aku memang punya niat untuk singgah membeli kartu, ketika aku
berbalik dan melihat bapak itu, di mataku dia seorang raksasa tinggi yang
sedang tersenyum, tangan ku langsung menarik kakakku dan menyebrang ke suatu warung.
Jika bapak itu tak mau menghentikan perilakunya, maka kami hanya dapat berbuat
hal konyol seperti itu. tak peduli seberapa banyak nya orang melihat kami, yang
terpenting kami hanya ingin terhindar dari semua mara bahaya yang berada di
samping kami.
Kamipun
menyimpulkan dengan sendiri, mungkin saja ini teguran dari Allah agar wanita
tidak ke masjid pada petang hari, karena wanita lebih baik shalat di rumah. Aku
juga berfikir mungkinkah kami diberi cobaan oleh Allah, karena setiap manusia
yang akan berbuat baik pasti melalui cobaan dahulu, bukannya menyombongkang
diri, tapi ini saatnya untuk berfikir logika. Aku bahkan selalu berdoa agar
Allah menjauhkan kami dari bapak itu. aku sangat takut disertai rasa geli dan
menyebalkan baru kali ini aku menemukan bapak bapak seperti itu.
Akhirnya
aku dan kakakku berpindah tempat yang awalnya kami berada di utara sekarang
kami lebih mengarah ke selatan. Namun menjauhi tempat bapak itu tetap saja tak
mengubah perilakunya. Misteri ini bahkan belum terpecahkan hingga saat ini,
bagaikan suatu puzzle dimana salah satu bagiannya hilang. Begitulah kejadian
ini dimisalkan. Namun,
aku berusaha untuk mengabaikan semua yang dilakukan bapak itu terhadapku.
Karena semakin ku perhatikan, tingkahnya juga akan semakin buruk lagi.
Hari demi hari, petang demi petang, aku dan kakakku
semakin penasaran bagaimana model dari puzzle yang hilang itu hingga akirnya kuberanikan
diri untuk bertanya dengan tetanggaku akan bapak itu. Setelah kulakukan
ternyata Misteri yang hampir tiga bulan lamanya berlangsung, kini kutemukan bagian
yang hilang itu. Tetanggaku bilang bapak itu telah kehilangan putrinya yang
umurnya bisa dibilang seumuran denganku, itulah sebabnya dia suka menunggu
bahkan mengikutiku dan kakakku pulang dari masjid, dia melakukannya karena
kangen terhadap putrinya. Dan juga tetanggaku bilang setahun yang lalu, juga
ada anak SMA yang bertanya padanya, dia mengalami hal yang sama denganku, tapi
dia tak tahan hingga berhenti untuk ke masjid. Semuanya akan berhenti ketika
muncul seorang gadis SMA yang pergi shalat. Mendengar penjelasan itu, aku baru
paham, ternyata selama ini aku menilainya dengan hal yang tidak mungkin. Itulah
kenapa berprisangka baik terhadap orang lain penting ditanam dalam hati, karena
tidak semua tingkah yang timbul dari orang lain itu menyakiti seseorang, pasti
ada alasan mengapa dia melakukannya. Dan alasan bapak itu membuatku merasa
bersalah dan menjadi tidak enak jika berpapasan dengannya. Aku hanya bisa
menampakkan senyuman tanpa mengeluarkan sepatah kata. Terlebih lagi dia adalah
seorang laki laki. Dimana dalam agama, haram hukumnya berbicara dengan laki
laki yang bukan mahram. Itulah mengapa setiap kali dia bertanya, aku hanya
menjawab dengan kata yang tak lebih dari 5 kata, dan diakhiri dengan senyuman.
Karena senyum itu adalah bagian dari ibadah.
Diakhir shalat magrib aku berdoa “Ya Allah, ampunilah
dosa hambamu ini yang telah berprasangka buruk terhadap bapak itu. Ya Rabb,
lindungilah setiap langkahku menuju ke tempat tujuanku, jauhkanlah hambamu ini
dari segala marabahaya. Robbanaa atina fiddunya khazanah wafil aakhiroti
khazanah wakina ‘aza bannar” Aamiin.
******
Akhirnya
setelah bulan Ramadhan, semua aktivas ku berjalan dengan baik. Dia bahkan tak
pernah muncul lagi, entah kemana perginya, tapi aku merasa lebih nyaman lagi.
Semoga Bermanfaat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar